10 May, 2012

Berkaca Pada Alam


  
Jika kita perhatikan batu-batu yang bertengger dipinggiran sungai, terkadang kuyup oleh sentuhan genit air-air sungai yang menghampiri walaupun mereka terus berjalan. Namun untuk beberapa lama batu-batu itu mengering oleh sinaran matahari yang menembus dari celah-celah dedaunan. Silih berganti air dan matahari menyapa bebatuan yang tak pernah bergeser dari tempatnya, sebelum perubahan alam atau tangan manusia yang menghendakinya berpindah. Kemudian jika terlihat satu sisi dari batu itu yang terus menerus lembab, yang kemudian lumut hijau nan cantik menghiasi seluruh sisi permukaan itu, artinya sinar matahari tak pernah singgah diatasnya. Batu, air sungai dan sinar matahari itu mengajarkan kepada kita tentang banyak hal. Kepasrahan batu-batu menerima air dan sinar matahari, adalah cermin keikhlasan. Dan keteguhannya untuk tetap ditempatnya, adalah kesabaran. Lumut hijau di sisi batu yang tak tersinari matahari adalah petunjuk arah jalan.

Mendakilah lebih tinggi, kita akan menemukan jenis tumbuhan, warna daun dan buah yang berbeda. Jalan semakin terjal dan sempit, hanya akar-akar besar dari pohon tua yang terkadang menjadi perantara menuju undakan berikutnya. Sesaat beristirahatlah dan perhatikan semuanya. Tumbuhan, daun dan buah dengan warna yang lebih mencolok dan lebih khas, mengajarkan kepada kita, bahwa Allah Maha Adil dengan menempatkan setiap makhluknya pada keadaan dan tempat dimana ia bisa beradaptasi dan hidup. Satu hal bagi manusia, teruslah bergerak mencari kehidupan, karena Allah akan senantiasa menuntun kita kepada tempat kehidupan terbaik. Namun jika pada akhirnya kita berhenti disatu tempat yang Allah kehendaki setelah semua usaha yang dilakukan, disitulah kita meletakkan prinsip qonaah dan sabar, serta bersyukur atas ketetapan Allah.
Saatnya senja menyambut hari. Sinar merah kekuningan yang menyejukkan masih bisa kita nikmati dari celah-celah ranting dan daun, sesekali ia seperti berkedip dan terus memandangi semua makhluk yang terus bergerak. Seperti mengikuti, matanya terus menatap dan mengawasi sementara sinarnya semakin lama semakin redup digantikan malam. Tinggallah menunggu rembulan. kemudian kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin, penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan mata kaki. Senja hanya sesaat, namun kahadirannya begitu memukau dan terasa manfaatnya. Tidak hanya indah, senja senantiasa menebarkan pesona keanggunan kepada siapapun yang menatapnya. Kepada hidup, kepada makhluk dan kepada Allah, semestinya manusiapun seelok, sebermanfaat dan semenyenangkan senja. Karena mungkin, besok tak lagi tersedia waktu untuk melakukan semua itu.
Dan bila malam tiba, kabut pekat menutup jarak pandang kita, sementara angin kebekuan menyelimuti kulit tipis kita yang tak henti bergerak. Sejenak berhenti sesungguhnya hanya menambah tebal selimut kebekuan itu walaupun waktu yang sejenak itu untuk sekedar menyeruput air hangat dari tungku batu. Tak banyak yang bisa dilakukan, tak banyak pilihan selain terus bergerak keatas agar lebih cepat mendapati fajar. Ingin mata terpejam sekedar menghela nafas dan mengaturnya satu persatu agar tak saling menyusul, tapi kehendak kuat yang menggebu untuk segera tiba di puncak seolah tak bisa kompromi. Rembulan hanya mengintip di kejauhan. Sedangkan kita terus bergerak, mencari jalan dengan menggunakan mata bathin, penerangan hanya alat bantu karena sesungguhnya kita lebih mempercayai mata bathin dan kontak yang tak pernah putus dengan mata kaki. Terkadang sering kita mendapat satu kondisi dimana tak lagi mempunyai pilihan untuk berbuat banyak, namun masih ada satu dalam dada ini yang masih kita percayai karena ianya tak pernah berdusta. Ialah mata hati dan nurani. Berhenti bukan jalan yang tepat apalagi kembali ke belakang, padahal jalan tinggal selangkah. Tanyalah pada hati, niscaya kebenaran yang kita dapat.
Dan pada akhirnya, setelah semua perjuangan, lelah, juga peluh yang hampir tak bedanya dengan embun dipucuk dahan, sebuah tanah mengering pada pijakan terakhir membuat nafas menjadi lega. Hilang semua lelah, lepas semua keputusasaan yang menghantui selama perjalanan, karena mentari pagi menyambut kehadiran kita di puncak perjalanan. Tersenyum adalah kepastian, kepuasan adalah kewajaran dikala seperti tak ada lagi jarak antara kita dengan Sang Pencipta dari puncak ini. Ingin rasanya berteriak meminta kepada-Nya, namun ditempat ini, berbisik pun Dia pasti mendengarnya, karena kita begitu dekat. Perjalanan takkan pernah berujung, namun sudah pasti ada masanya kita kan berhenti. Teruslah mendaki agar kita semakin dekat pada-Nya. Teruslah bergerak, namun jika telah sampai di puncak semua keinginan, jangan pernah lupa bahwa kita pernah dibawah, dan pasti akan kembali ke bawah. Esok atau nanti. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Bayu Gautama)

No comments:

Post a Comment